Kereta.

yeens
3 min readOct 2, 2022

--

Suasana stasiun ramai sekali. Yah, rutinitas setiap pagi.

Entah kenapa, aku suka sekali stasiun yang ramai. Memang, sih, kadang berimpitan dan sesekali bertemu dengan orang yang menjengkelkan. Namun, kebanyakan malah tidak peduli. Semuanya sibuk dengan kesibukannya masing-masing.

Ada yang pegawai kantoran, ada petugas stasiun, ada pedagang keliling, ada mahasiswa sepertiku, dan masih banyak lagi jenis pekerjaan lainnya.

Beragam pekerjaan itu selalu membuatku terkagum.

Besok, aku akan menjadi apa, ya?

Pikiranku segera terbuyar saat kereta yang kutunggu telah datang. Aku lalu memasuki kereta tersebut setelah menunggu beberapa saat.

Kondisi kereta tidak jauh berbeda dengan stasiun. Padat.

Aku tidak kebagian tempat duduk, jadi aku berdiri dengan tangan memegang pegangan yang ada di atas.

Sebab aku menghadap kaca, secara otomatis aku juga berhadapan seorang pria yang tengah membuka laptopnya.

Pasti orang sibuk.

Orang sibuk yang tampan, hehe.

Ia memakai kacamata. Kerutan di keningnya cukup menandakan ia sedang berpikir keras. Oh, jangan lupakan tangannya yang sibuk mengetik (namun dihapus berkali-kali).

God, dia tampan sekali.

Dan mungkin sebab kebodohanku terlalu lama menatapnya, ia jadi mendongak. Melihat ke arahku, jelas.

Bodohnya (lagi) aku, aku malah menatap langit-langit kereta.

Maksudku, siapa yang tidak bodoh jika ketahuan secara terang-terangan seperti itu?

Aku masih menatap langit-langit karena aku merasa ia masih menatapku.

Sungguh kepercayaan diri yang sangat tinggi, ya? :(

Aku curi-curi pandang kepadanya, memastikan apakah ia telah kembali fokus ke laptopnya atau belum.

Untuk kedua kalinya, aku ketahuan. Lagi.

Kepalang malu, aku kemudian tersenyum bodoh sembari menundukkan kepala sekali. Meminta maaf dengan cara yang buruk sekali.

Ia terkekeh. Sebentar, sih, namun mampu membuatku kalang kabut.

Ia makin tampan saat tertawa kecil seperti itu.

Kulihat ia kembali mengetik sesuatu di laptopnya. Kali ini tanpa menekan tombol delete sama sekali.

Cepat sekali cara mengetiknya. Pasti ia sudah sangat terbiasa.

“Hei, terima kasih, ya.”

Pria tampan itu tiba-tiba bersuara dan menatapku.

Sebenarnya, sudah jelas ia berbicara kepadaku. Namun, “Terima kasih untuk apa?” tanyaku bingung.

Ia tersenyum lagi. Mengapa ia tiba-tiba murah senyum?

“Kau memberikanku inspirasi. Dari tadi aku frustrasi tentang kelanjutan scene ceritaku, namun tingkah malumu membuatku mendapatkan ide,” jelasnya.

Oh. Inspirasi? Scene? Jadi ia seorang penulis?

“Kuharap idemu itu tidak mencantumkan kebodohanku, ya,” ujarku meringis. Takut-takut kalau tingkahku yang memalukan tadi terabadikan dalam sebuah tulisan oleh orang tampan.

Pria itu tertawa, kali ini lebih lepas dari kekehan pertamanya. “Tidak tahu, sih. Tunggu empat bulan lagi, ya. Saat novel ini rilis, kau akan dapat satu, gratis. Silakan kau cari di bagian mana kau menginspirasiku.”

“Gratis?” tanyaku mengulang. “Wow, tidak kusangka tingkahku membawa berkah,” aku tertawa. “Baiklah, kutunggu. Tetapi, dari mana aku bisa memegang ucapanmu?”

Pria tersebut kemudian merogoh sakunya. Ia mengeluarkan sebuah kertas persegi panjang berukuran kecil dan pena. Kulihat ia menulis sesuatu di atas kertas itu.

Kemudian ia berikan kertas itu padaku.

“Nanti, kau bisa hubungi email yang tertera di kartu nama ini, ya. Lampirkan juga foto kartu nama ini, agar aku tahu itu kau,” katanya.

Ia lalu menutup laptopnya dan memasukkannya ke dalam tas laptopnya.

“Kau harus segera hubungi, ya. Jangan tunggu empat bulan lagi, nanti kadaluwarsa,” ujarnya dengan senyum manisnya. “Aku harus segera turun. Terima kasih sekali lagi, ya. Dah!”

Dan ia pergi.

Wah, aku masih tidak menyangka bisa berbicara dengan orang asing di kereta ini.

Maksudku, selama ini aku memang kerap kali menaiki transportasi ini. Namun, tidak sekalipun aku berbincang dengan orang asing.

Pria tadi lumayan juga, ya.

Aku kemudian melihat kartu nama yang ia berikan padaku tadi. Sontak aku tersenyum geli lagi.

Di kartu nama itu, tidak hanya namanya, Kim Taehyung, dan emailnya saja yang tertulis.

Namun ada juga tulisan tambahan yang baru ia tulis tadi, ‘Kereta Spesial’.

Astaga, pipiku memanas.

[]

--

--